Kamis, 05 Juli 2018

Jodoh Tak Pernah Terlambat

Pagi menyapa lagi, kicau burung menjadi nyanyian indah di pagi hari. Di pedesaan yang tergolong terpencil ini kicaunya terdengar jelas, beradu dengan kokok ayam dan jangkrik yang turut menyambut hari dengan penuh kesyukuran.

Tak jauh beda dengan lelaki muda yang kini tengah sibuk merapikan diri. Sambil melantunkan dzikir pagi dia mematut matut diri di depan kaca, sembari sesekali tersenyum simpul. Wajah bersih, meski tidak terlalu putih tapi cukup terlihat ganteng, apalagi dengan tumbuhnya sedikit rambut di bawah dagunya menambah kegantengannya. Dan mata yang teduh yang tertutup kacamata menambah kesan cerdas pada pemakainya. Bakti Surya Putra, begitu tertulis di nametag yang bertengger di dada kiri lelaki itu, terlihat nama perusahaan ternama milik pemerintah di atas namanya. Ya, mulai 5 bulan yang lalu Bakti telah diangkat sebagai pegawai tetap di perusahaan yang mengurus kelistrikan di negaranya.

"Senyum, senyum sendiri kamu Bak, kayak orang gila." komentar Dimas melihat kelakuan sahabat baiknya sembari menyendok nasi goreng di piringnya.

"Enak aja kalau ngomong, ini nih senyum tanda syukur. Bukan orang gila." timpal bakti sambil melangkah mengambil piring dan nasi goreng sebelum akhirnya berada di sebelah Dimas.

"Gimana, enak?" tanya Dimas sesaat temannya mengunyah suapan pertamanya.
"Iyalah enak, orang ane yg masak. Gak bakal keasinan kayak masakan ente". Sombong Bakti
" Ya elah malah nambah songong nih anak, besok ane yang masak. Pasti enak dan spesial." balas Dhimas
"Terserah deh, yang penting bisa dimakan dan gak bikin sakit perut aja." Bakti mendesah
"Liat aja besok" ucap Dimas yakin sambil senyum - senyum penuh rencana tersembunyi.
"Oke, pokoknya jangan sampai bikin aku harus makan telur rebus doang ya buat sarapan. Lemes ane ntar di kantor. Kalau udah selesai gih piringnya di cuci. Kita berangkat, jangan lupa dhuha dulu." seloroh panjang Bakti pada sahabat kesayangannya itu. Meski beda tahun usia mereka tapi mereka tetap akur dan saling melengkapi.
"Siap, adek gedhe." sahut Dimas dengan kerling jenaka.
Bakti hanya tersenyum melihat kelakuan Dimas yang lebih tua tiga tahun darinya itu. Usia boleh tua, tapi Dimas tetap terlihat muda dengan gaya humorisnya meski kadang njengkelin karena tingkah sembarangannya itu. Hampir tiap hari Bakti mesti beres-beres kontrakan mereka gegara Dimas yang selalu meletakkan barang-barang sembarangan.

@@@@@@

Seharian bekerja, membuat Bakti terlihat begitu lelah. Ditambah tugas lembur yang memaksanya bertahan di kantor sampai jam 20.00 sungguh menguras tenaganya. Dilangkahkan kaki lelahnya menuju parkiran.
"Dreet, dreet..... Dreert." Hp di saku celananya bergetar. Tak lama Bakti membuka HPnya. Ada pesan dari aplikasi whatsapp. Terlihat wajah cantik dengan balutan hijab biru langit di profil si pengirim pesan.
" Assalamu'alaykum, mas. Maaf Dinda mundur."
"Ayah tak ingin Dinda menunggu lebih lama karena usia Dinda juga terus bertambah."
"Ayah memberi waktu sebulan, jika mas tak kunjung datang melamar. Maka Dinda harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak mas."
Bunyi whatsapp yang baru dibukanya.
"Astaghfirullaah" lirih Bakti beristighfar, ya dia sudah menggantung anak orang begitu lama. Tapi, bukan dia yang ingin menunda begitu lama. Kondisi keluarganya tak memungkinkan ia menikah segera.
Di seberang sana masih mengetik...

Tak mau makin panjang, Bakti putuskan menelpon saja, hal yang sangat jarang dilakukannya. Satu kali tidak diangkat, dua kali tak diangkat.
"Boleh mas telpon" akhirnya ia membalas via wa karena tak kunjung diangkat, padahal jelas terlihat ada tulisan online di profilnya.

🧕🏻: "Maaf mas, aku tidak ingin mendengar suaramu dulu. Aku takut akan makin sulit nanti aku mengikhlaskanmu."
👳🏻‍♀: " Baiklah, mas mengerti. Mas hanya berharap kita tak kehilangan harapan padaNya. Pun jika memang takdirNya kita tidak bersama. Mas berdoa semoga adek selalu bahagia."
"Istirahatlah dan berdoalah"
🧕🏻: "Kenapa mas begitu baik. Bagaimana Dinda mendapat orang sebaik Mas Bakti 😭"
Bakti membiarkan balasan Dinda begitu saja, ia harus segera pulang. Dia belum makan malam, meski tak berselera lagi, tetap saja ia tak ingin thipus menyapanya lagi.
Sepanjang jalan hatinya berkecamuk, tak seperti balasannya pada Dinda, ia juga resah membayangkan berbagai kemungkinan yang ada. Adakah keajaiban yang menjadi jalan keluarnya. Dinginnya malam tak lagi dirasa karena fikirannya mengembara entah kemana.
"Bruk"
Sepeda motor hitam merangsek menabrak trotoar.
Dengan bersusah payah Bakti membuka matanya, tapi tak bisa, bibirnya merapal syahadat dan akhirnya ia memilih memejamkan matanya sempurna.

(Bersambung)

Kamis, 26 April 2018

Dia Istri Ayahku, bukan Ibuku

Boleh aku pakai cerita mbak untuk referensi" begitu wanita berkaca mata sampaikan padaku. 
"Silahkan, selama itu bermanfaat." ucapku sembari berfikir layakkah langkahku ini dijadikan referensi yg lain. Tapi setidaknya hari itu aku merasa bahwa bukan aku saja yg diuji dengan orang asing yg tetiba saja dimasukkan dalam hidup oleh ayah dan  dgn paksa harus menyebutnya "ibu". 
Yup, ibu tiri. 
Aku masih ingat dulu waktu kecil ikut menangis saat menonton atau ikut menyanyi film legendaris " kejamnya ibu tiri" yang dibintangi Elvy sukaesih. Dan sekarang itu yg aku hadapi. Tidak sekejam yang di tv itu tentunya. 
Biasa saja, tapi tak akan pernah ada kenyamanan disana jika kita tak mampu menciptakannya sendiri. 
Dan aku yakin, bahwa kita adalah seorang pembelajar dan adaptor yg baik. Kali pertama pulang, tiada hari tanpa air mata tertumpah dengan diiringi isakan ataupun bahkan jeritan. 
Setiap yang kurasa dekat kumintai pendapat, aku tahu semua ingin membantu tapi terasa hanya sekedar basa basi, karena mereka tak di posisiku... Sekedar ucapan " Yg sabar ya, semoga lebih baik kedepannya." atau ada pula yg menyarankan " kamu yg harus jadi orang baik, harus begini, harus begitu, coba begini, coba begitu", satu waktu aku mencobanya tapi rasa sakit tetap saja hanya aku yg rasa. Sampai aku lelah untuk sekedar mencicip rasa sakit, aku juga ingin bahagia dan kuputuskan untuk bahagia dengan caraku. 
Saat itu aku tahu bahwa "menganggap orang asing sebagai ibu adalah kesalahan." kenapa? Karena sebuah hubungan haruslah ada timbal balik. Ketika kita bersikap sebagai anak, sedang si ibu menganggap kita adalah anak dari suaminya, maka tak akan ada keharmonisan yg didapat. Tapi saling menyakiti. Karenanya cukup anggap sebagai "istri dari ayahmu", maka saat itu terbebaslah kita dari tuntutan sebagai anak (bakti dan lainnya), dan yang terpenting kita tak akan terganggu dengan siksaan perasaan, saat istri ayahmu tak memperlakukanmu selayaknya anak. Pun saat ayahmu memilih bahagia dengan keluarganya tanpamu, kau akan berfikir, itu memang tanggungjawab suami terhadap istrinya. 

Dan jika sendirian membuatmu lemah, maka keluarlah carilah komunitas, carilah orang2 yang menyayangimu tanpa syarat. Tapi perlu diingat, memilih lingkungan yg menguatkan kita, baik sekarang atau kedepannya itu perlu, jangan hanya sebagai pelampiasan tak berarti apalagi yg merusak masa depan kita sendiri. 
Karena seluruh hidup kita, itu milik kita, kita pemeran utamanya. Jangan bergantung pada orang lain untuk bahagia, jangan berfikir dengan rusaknya diri kita orang lain yang akan rugi. Tidak, ketika kita rusak, maka yg paling rugi adalah diri kita sendiri. 
Seluruh kejahatan kedzoliman yg orang lain lakukan pada kita tak akan sedikitpun merugikan kita, tapi satu saja kejahatan ataupun kedzoliman yg kita lakukan maka rugilah kita. 
Keep positif, semoga Allah menghitung setiap tetes air mata yang jatuh ataupun tersimpan dengan kebaikan-kebaikan berkelimpahan, dan next episode semoga dipertemukan dgn suasana membahagiakan